Selasa, 26 Agustus 2008

____________________________________________
BERANDA :: ALAMAT :: POS-EL :: TELEPON :: DISKUSI
____________________________________________
Demi Pernikahan Adik

Cerpen Mahmud Jauhari Ali


Aku masih teringat dengan kata-kata pak Hamid soal pernikahan adikku. Lelaki berusia setengah abad itu dengan teganya menolak adikku menjadi menantunya hanya karena uang seserahan yang belum dapat kami berikan sesuai permintaannya. Adikku sebenarnya sudah ingin sekali memiliki seorang wanita yang menemaninya dengan setia. Sudah dua tahun adikku berhubungan dengan Mia, anak pak Hamid. Aku sebagai kakaknya tidak ingin keduanya terjerumus ke jurang maksiat. Ketakutanku muncul saat aku melihat mereka bergandengan tangan di samping musala sehabis salat Tarawih satu bulan yang lalu. Hatiku sakit melihat adikku yang kini tidak semangat menjalani hidup gara-gara penolakan pak Hamid tempo hari.
Kadang kulihat dia termenung sendiri di serambi rumah kami. Aku tahu bagaimana perasaannya. Dengan permintaan pak Hamid sebesar lima belas juta rupiah, kemungkinannya baru satu tahun lagi adikku dapat menikah. Dia memang sudah bekerja sebagai penjahit, tetapi berapalah pendapatan seorang penjahit yang baru membuka usahanya.
“Assalamualaikum.... ”, sapa ustadz Karim dengan suara yang lembut kepadaku
“Wa’alaikumussalam”, jawabku.
“Bapak sedang ada masalah ya? tanya beliau
“Ah Ustad tahu saja kalau saya sedang punya masalah”
“Ya, soalnya Bapak kalau setiap kali ada masalah, Bapak sering duduk tafakur di musala ini”
“Benar Ustad saya sedang ada masalah. Saya belum memiliki uang untuk membatu adik saya menikah”
“Memangnya sudah berapa tabungan Bapak dan adik Bapak itu?
“Baru sembilan juta Ustad.”
“Cukup sudah uang itu sebenarnya untuk menikah. Bukankah rasulullah sendiri mengadakan pesta pernikahan dengan sederhana? Bahkan rasulullah menyuruh umatnya agar menikah walaupun dengan mas kawin berupa cincin dari besi.”
“Kami pun sebenarnya ingin seperti itu, tetapi pihak mempelai wanitanya meminta uang seserahan sebesar lima belas juta”
“Masya Allah! Besar sekali?”
Azan Juhur pun berkumandang menghentikan percakapan kami. Kami segera berwudu dan setelahnya kami pun salat berjamaah. Ustad Karim menjadi imamnya. Aku dan tiga orang lainnya mengikuti gerakan beliau dari belakang.
Aku segera meninggalkan musala setelah memanjatkan doa kepada Allah agar dimudahkan-Nya menyelesaikan masalah yang sedang kami hadapi.

***

Kulihat istriku sedang asyik memberikan makan ayam-ayam kami. Kulihat ia juga ikut memikirkan masalah pernikahan adik kandungku itu.
“Assalamu’alaikum...!” sapaku pada istri tercintaku
“Wa’alaikumussalam” jawabnya dengan dengan sangat lembut .
“Dari mana Yah hari Minggu baru pulang?” tanyanya.
“Aku habis dari musala. Pak ustad tadi mengajakku berbincang.”
“Soal apa?”
“Soal adik kita.” jawabku. “Pak ustad juga menyayangkan pihak mempelai wanita yang meminta uang seserahan dengan jumlah banyak”, tambahku.
“Apa nasehat pak ustad kepada Ayah?
“Aku diminta beliau membicarakan sekali lagi kepada pak Hamid soal uang seserahan itu karena dalam Islam tidak ada hukumnya meminta uang seserahan kepada pihak mempelai pria, apalagi dengan jumlah yang banyak.” “Beliau juga menambahkan bahwa dalam Islam hanya ada pemberian mahar yang tidak ada ketentuan jumlah dan ukurannya dari mempelai pria kepada mempelai wanita.”
Istriku pun mengangguk-anggukkan kepalanya mendengar kata-kataku itu. Pembicaaan kami terhenti saat adikku Fajriansyah datang dari tempat kerjanya. Kami lihat wajahnya sangat lelah. Ia tersenyum ke arah kami.
“Assalamu’alaikum....” sapanya.
“Wa’alaikumussalam ...”, jawab kami.
“Karena sudah berkumpul, ayo kita makan bersama! Pinta istriku kepadaku dan Fajriasnyah.
Dengan lahapnya kami menyatap makanan di meja makan. Perut kami langsung kenyang dan mata kami pun mulai mengantuk.

***

Tidak terasa sudah pukul setengah empat sore. Aku beranjak dari tempat tidurku untuk bersiap-siap salat Asar di Musala. Dalam pikiranku masih saja melekat masalah pernikahan adikku. Kuputuskan setelah salat aku akan menemui kembali pak Hamid. Dengan sepeda motor aku melaju ke rumah tempat tinggal gadis pujaan adikku. Di sana kami berbicara cukup lama dan sangat alot karena pak hamid tetap pada pendiriannya. Aku pulang dengan tangan kosong karena aku tidak berhasil meyakinkan pak Hamid soal pernikahan yang Islami.
Dalam perjalanan pulang aku mampir di pasar. Aku tadi dipesani istriku untuk membeli gula merah dan kacang hijau. Katanya dia ingin memasak bubur kacang hijau. Saat aku membeli gula merah dan kacang hijau, aku mendengar percakapan para penjual di pasar itu.
“Bi, kemarin habis berapa untuk biaya berobat di rumah sakit?”
“Kalau ditanya habis berapa, habis-habisan Dik”
“Memang Bi, sekarang tidak ada yang murah.”
“Kami kemarin habis delapan juta untuk biaya operasi usus buntu anak kami.”
Akibat percakapan para penjual di pasar tadi, aku jadi berpikir kalau aku harus segera membiayai adikku untuk menikah. Jika harus menunggu satu tahun lagi, aku takut adikku menjadi stres berat. Biarlah habis biaya banyak dengan resiko jual sana, jual sini. Mengharapkan kesadaran pak hamid terlalu lama. Pak Hamid juga berpikiran sekarang tidak ada yang murah, apalagi soal anak gadis tentulah mahal. Pemikiran yang salah masih melekat dalam pikiran masyarakat kita saat ini soal pernikahan, pikirku.

***

Dengan hati yang ikhlas, aku dan istriku memutuskan menjual sepeda motor kami dan beberapa barang lainnya termasuk perhiasan istriku untuk biaya adik kami. Semula adikku menolak keputusan kami, tetapi akhirnya dia pun menuruti permintaan kami. Kami tidak bisa mengubah adat perkawinan yang sudah lama mengakar di daerah kami soal uang seserahan dalam pesta perkawinan. Kami akui, masih banyak orang di daerah kami yang belum paham betul dengan tata cara pernihakan yang Islami, salah satunya adalah pak Hamid. Pernikahan pun berlangsung dengan meriah. Aku dan istriku sangat bahagia dengan pernikahan itu. Kebahagian kami bukan datang dari meriahnya pesta, melainkan datang dari kebahagian yang sedang dirasakan oleh adik kami tercinta yang terlihat dari senyum dan tawanya.

***
_________________________________________________
COPET

Cerpen Yuliati Puspita Sari

Sekali lagi kuperiksa dompetku. Alhamdulillah masih ada. Sebelum berangkat ibu selalu berpesan agar aku berhati-hati di jalan, terutama saat dalam bus. Biasanya banyak copet beraksi di dalam bus, terlebih saat bus penuh dan para penumpang berdesak-desakan. Itu merupakan lahan empuk bagi para pencopet.
Seorang ibu berperawakan agak gemuk tersenyum kepadaku. Ibu itu duduk persis di sebelah kiriku. Di pangkuannya ada tas besar yang entah isinya apa.
“Adik mau kemana?” tanya ibu itu.
“Semarang, Bu.” Sahutku.
Ibu itu tersenyum. Meski sedikit gemuk, tapi ia terlihat cantik.
Lagi-lagi pesan ibu terngiang di telingaku.
“Kamu harus hati-hati, Rin, jangan lekas percaya pada orang,” pesan ibu menjelang keberangkatanku.
“Ingat, Rin, kalau tidak terlalu penting, jangan ngobrol dengan sembarang orang di dalam bus. Ibu takut kalau kamu kena hipnotis nanti.” Lanjut ibu lagi.
Aku maklum dengan kecemasan ibu yang berlebihan melepas kepergianku. Sebelumnya aku memang tidak pernah pergi sendiri. Kalau pergi ke mana-mana apalagi harus menempuh jarak jauh selalu ada keluarga atau setidaknya teman yang menyertai. Tapi kali ini aku terpaksa harus berangkat sendiri. Tak ada yang bisa menemaniku. Semuanya sibuk dengan kerjaan masing-masing.
“Iya, Bu, Ibu tidak usah khawatir” sahutku singkat.

***

Udara sangat panas. Kukipas-kipaskan koran yang ada di tanganku. Lumayan dapat menghadirkan sedikit angin untuk mengusir gerah.
“Mau ngemil, Dik?” Ibu itu menawarkan sebungkus kacang goreng kepadaku.
“Terima kasih, Bu, saya masih kenyang” Kutolak halus tawaran ibu itu. Aku ingat pesan ibu agar jangan sembarangan menerima tawaran orang untuk makan, sebab obat bius bisa dimasukkan melalui makanan.
“Astagfirullahaladzim...!” ucapku lirih. Aku tidak bermaksud berburuk sangka pada ibu itu, tapi aku hanya sekadar berhati-hati.
Bus berhenti. Ada penumpang yang naik. Seorang laki-laki berambut gondrong dan berpakaian agak lusuh. Sepertinya ia berasal dari golongan kelas bawah. Aku patut curiga dengan orang ini. Keterbatasan ekonomi mungkin saja membuatnya nekat. Hal-hal semacam itu sering aku lihat dalam tayangan kriminal di televisi. Jangan-jangan sasarannya kali ini adalah aku. Ih...aku bergidik. Jantungku berdetak makin cepat saat laki-laki itu memilih duduk tepat di sebelah kananku. Bau keringat menyeruak ke dalam penciumanku.
“Ya Allah, lindungi aku.” Kupegang tasku erat-erat. Aku harus hati-hati dengan laki-laki ini.
Sepanjang jalan perasaanku tidak tenang. Rasa hausku pun terpaksa kutahan. Aku tak berani membuka tasku untuk mengambil air kemasan di dalamnya. Aku takut kalau laki-laki di sampingku tahu segala isi tasku. Kulirik laki-laki gondrong di sebelahku. Ia diam terpaku di tempat duduknya, entah apa yang saat ini dipikirkannya.
Selang beberapa jam, bus berhenti. Laki-laki itu beranjak dari tempat duduknya. Rupanya ia sudah sampai di tempat yang ditujunya.
Aku menarik napas lega. Kuperiksanya tas kecilku. Alhamdulillah, dompetku masih ada. Kureguk air kemasan yang kubeli di terminal bus tadi. Lumayan untuk mengusir rasa haus yang kutahan sejak tadi.
Kulihat ibu di sebelahku begitu tenang terlelap. Suara bising dari pengamen di dalam bus seolah menjadi nyanyian pengantar tidurnya.
Untuk yang kesekian kalinya bus berhenti lagi. Seorang laki-laki seumuran kakakku masuk. Ia duduk di sebelahku. Pakaiannya bersih, rapi, dan wangi. Ia juga berkaca mata, sama seperti kakakku. Penampilannya sangat berbeda dengan laki-laki berambut gondorong tadi. Dari penampilannya, aku yakin bahwa ia orang baik-baik. Tak ada yang perlu kucurigai dari dia.
“Mau ke Semarang, Mbak?” tanyanya sopan.
“Iya, Mas,” sahutku ringan.
“Mas mau ke Semarang juga?” aku balik bertanya.
Laki-laki itu mengangguk.
“Saya mau menjenguk saudara saya di Semarang,” katanya.
Aku senang, kali ini aku tidak perlu ketakutan seperti tadi. Aku aman. Kedua orang yang duduk di sebelahku adalah orang baik-baik. Akhirnya aku tenggelam dalam obrolan-obrolan ringan bersama laki-laki yang baru kukenal itu.
Bus berhenti.
“Permisi, Dik, saya duluan”. Rupanya ibu yang duduk di sebelahku sudah sampai di tempat tujuannya. Kugeser tubuhku agar ibu itu bisa lewat. Laki-laki di sebelah kananku pun juga melakukan hal yang sama, memberi jalan agar ibu bertubuh gemuk itu bisa lewat.
Kembali kuperiksa tasku. Aku tersenyum lega. Alhamdulillah dompetku masih ada.
“Kenapa, Mbak?”.
“Oh...eh...tidak apa-apa, Mas” Aku tersenyum malu. Rupanya laki-laki itu mengawasiku sejak tadi. Mungkin laki-laki itu heran melihatku yang segera memeriksa tas sepeninggal ibu itu tadi.
“Kita memang harus hati-hati, Mbak, banyak copet di mana-mana.” Laki-laki itu seolah dapat menebak jalan pikiranku.
“Kadang pencopet bisa berpura-pura sebagai orang baik dan mereka pun punya banyak cara untuk melancarkan aksinya.” Lanjut laki-laki itu lagi.
Aku tersenyum sambil mengangguk-angguk. Sepertinya laki-laki ini tahu banyak tentang seluk-beluk copet. “Ah, mungkin dulunya ia pernah dicopet,” ungkapku dalam hati.

***

Angin berhembus masuk melalui jendela bus. Pinggangku terasa sudah mulai penat karena terlalu lama duduk. Kalau saja bus yang kutumpangi ini tidak sering berhenti, sudah sejak tadi aku tiba di Semarang. Kulirik arloji di pergelangan tanganku. Pukul 04.00 WIB. Laki-laki di sebelahku tertidur sejak tadi. Mungkin ia kelelahan sehingga tidak sanggup menahan kantuknya.
Bus kembali berhenti untuk menaikan penumpang. Kuharap ini adalah terakhir kalinya bus berhenti sebelum tiba di terminal. Aku tak ingin paman Umar terlalu lama menungguku kedatanganku di terminal. Tiga orang penumpang naik. Sepasang suami isteri yang masih muda beserta anak mereka yang masih balita.
“Mas dan Mbak silakan duduk di sini, biar saya yang berdiri” Naluri kemanusiaanku muncul. Aku tak tega melihat mereka berdiri. Isterinya sedang hamil, sementara anaknya sedang terlelap dalam gendongan ayahnya.
“Terima kasih, dik.” Mereka tersenyum ramah kepadaku. Tak ada yang perlu kucurigai dari mereka.
Alhamdulillah, aku senang, ternyata kekhawatiran ibu tidak terbukti. Tak ada copet ataupun tukang bius di dalam bus yang kutumpangi ini.
Bus sudah memasuki kota Semarang. Tak lama lagi kami akan tiba di terminal. Lumayan lelah juga berdiri, tapi tak apalah, sedikit berkorban untuk orang yang lebih memerlukan.
Bus kembali berhenti. Ternyata laki-laki yang tadi menjadi teman ngobrolku beserta satu orang penumpang lainnya yang turun.
“Saya duluan, Mbak.” Katanya tergesa. Aku tersenyum.
“Mungkin laki-laki itu takut kalau busnya kembali jalan makanya ia buru-buru turun” pikirku. Tak sempat kutangkap senyum puas terpancar dari bibirnya.
Selang beberapa menit kemudian, perlahan bus memasuki terminal. Penumpang berdesakan turun. Kuapit tasku kuat-kuat, tak akan kubiarkan tangan jahil menjarahnya. Kulihat paman Umar dan Annisa sepupuku yang masih kecil tersenyum ke arahku. Mereka sengaja menjemputku di terminal.
“Selamat datang di Semarang, Rin.” Sambut paman Umar. Kucium tangan beliau.
Annisa kecil merengek minta dibelikan es krim. Kuraih tangannya dan berjalan menghampiri penjual es.
“Mas, beli es krimnya satu.” Pintaku pada penjual es.
“Berapa, Mas?” lanjutku lagi.
“Tiga ribu rupiah, Mbak.” Sahut penjual es krim itu.
Akhirnya baru kusadari ada goresan silet di tasku. Tak dapat lagi kutangkap senyum ceria Annisa saat menerima es krim dari penjualnya karena yang ada semuanya gelap. Dompetku entah sudah berpindah kemana.

***

Kertak Hanyar, Agustus 2008